TERBARU :
السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته# بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه التصوف الإسلامي هو مقام الإحسان الذي قال عنه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراكِ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيَّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةٍ تُنْجِينَا بِهَا مِنْ جَمِيعِ الْمِحَنِ وَالإِحَنِ وَالأَهْوَالِ وَالْبَلِيَّاتِ وَتُسَلِّمُنَا بِهَا مِنْ جَمِيعِ الْفِتَنِ وَالأَسْقَامِ وَالآفَاتِ وَالْعَاهَاتِ وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيعِ الْعُيُوبِ وَالسَّيِّئَاتِ وَالآفَاتِ وَالْعَاهَاتِ وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيعَ الْخَطِيئَاتِ وَتَقْضِي لَنَا بِهَا جَمِيعَ مَا نَطْلُبُهُ مِنَ الْحَاجَاتِ وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ يَا رَبِّ يَا الله يَا مُجِيبَ الدَّعَوَاتِ.... " اهـ . [ من صلوات العارف الرباني الإمام الغوث الصمداني عبد القادر الجيلاني - رضي الله تعالى عنه، في كتاب " أفضل الصلوات على سيد السادات" للعارف الرباني القاضي يوسف النبهاني - رضي الله تعالى عنه و عـلـيـكـم الـســلام و رحـمـة الله تـعـالـى و بـركـاتـه

ARSIP BLOG

MENU UTAMA

KISAH KANG ANWAR

TASAWUF

MUNAJAT ILAHY

Tampilkan postingan dengan label ZUHUD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ZUHUD. Tampilkan semua postingan

KONSEP ZUHUD MENURUT IMAM GHOZALI

25 Oktober 2010

KONSEP ZUHUD MENURUT IMAM GHOZALI

Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhiratpaling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.

Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu tunjukkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.s. Thaha: 131)

Dan Allah swt. berfirman:
”Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Q.s. Asy-Syuura: 20).

Tentang hak Qarun, Allah swt. berfirman:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya Ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh’.” (Q.s. Al-Qashash: 79-80).

Dijelaskan pula bahwa zuhud merupakan salah satu buah ilmu. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang pagi-pagi, dengan tujuan utamanya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, memporak-porandakan pekerjaannya dan menjadikan kefakirannya ada di depan matanya, serta tidak memberinya bagian dunia, kecuali yang telah ditetapkan kepadanya. Dan barangsiapa yang pagi-pagi bertujuan akhirat, Allah akan menghimpun keinginan-keinginannya, memelihara pekerjaannya, menjadikan kekayaannya ada dalam kalbunya, dan dunia mendatanginya dalam keadaan patuh.”

Ketika ditanya tentang firman Allah Swt :
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Q.s. Al-An’am: 125).

Yakni, tentang arti dan pengertian As-Syarhu (lapang), Rasulullah Saw. menjawab, “Ketika cahaya memasuki kalbu, ia jadi lapang dan luas.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apakah hal itu memiliki tanda-tanda tertentu?”
“Benar,“ jawab Rasulullah, “memisahkan diri dari negeri yang penuh tipu daya, dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan untuk mati sebelum datangnya maut.”

Rasulullah Saw juga bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya!”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Rasulullah Saw. menimpali, ‘‘Kalian membangun apa yang tidak kalian tempati dan kalian memakan apa yang tidak kalian makan.”
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang hidup zuhud di dunia, Allah memasukkan hikmah ke dalam kalbunya, menjadikan lisannya berbicara dengan (penuh) hikmah, memberitahunya tentang penyakit dunia dan obatnya, serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat (sejahtera) menuju ke negeri yang penuh kedamaian (Darus salam).”

Sabda beliau pula, “Seorang hamba itu tidak akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, sehingga ia lebih mencintai untuk tidak dikenal daripada dikenal, dan sesuatu yang sedikit itu lebih ia cintai daripada sesuatu yang banyak.”
Dan sabda Rasulullah saw. berikutnya, “Jika Allah hendak mengaruniakan kebaikan kepada seseorang, Dia jadikan ia zuhud di dunia, menjadikan senang di akhirat, dan diperlihatkan cacat dirinya.”

Sabda beliau, “Hidup zuhudlah di dunia, niscaya kalian dicintai Allah swt, dan berzuhudlah terhadap apa yang jadi milik manusia, niscaya manusia mencintai diri kalian!”
Sabdanya pula, “Barangsiapa berkeinginan untuk diberi ilmu oleh Allah tanpa belajar, dan petunjuk tanpa hidayat, maka hendaklah ia hidup zuhud di dunia.”
Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Esensi zuhud adalah, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin.

Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.

Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan, sekadar biaya penumpang kendaraan.

Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekadar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan perkakas rumah.

Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka ia tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja; dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud. Kecuali ia memiliki kasab yang tidak bersumber dari kekuasaan; seperti Daud At-Tha’ie. Dia adalah orang yang memiliki 20 dinar. Ia menahan uang tersebut dan merasa puas dengan sejumlah uang itu selama 20 tahun; yang demikian ini tidak membatalkan tahap dan derajat zuhud di akhirat, kecuali bagi orang yang mensyaratkan adanya tawakal dalam hidup zuhud itu sendiri.
Ukuran dan takarannya minimal setengah adalah satu kati, dan takaran yang tertinggi ialah satu thud. Lebih dari takaran tersebut, berarti membatalkan maqam hidup zuhud.

Jenis makanan tersebut adalah makanan pokok sehari-hari, walaupun hal itu berupa tepung kasar. Jenis sederhana adalah roti gandum, dan jenis yang tertinggi adalah roti gandum yang tidak diayak. Bila diayak, tergolong hidup mewah, bukan hidup zuhud. Rempah-rempahnya, yang paling rendah adalah cuka, sayur dan garam. Jenis sederhana adalah minyak, dan jenis tertinggi ialah daging. Itu pun seminggu sekali, atau dua kali. Jika berlangsung lama, orang tersebut bukanlah orang yang hidup zuhud.

Aisyah r.a. berkata, “Selama empat puluh malam di rumah Rasulullah Saw, lampu ataupun api tidak pernah dinyalakan.”
Dikatakan, selama tiga hari sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. belum pernah kenyang dengan roti gandum.

Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dan jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, ia tidak mendapatkan pakaian lain sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud.

Aisyah r.a, kata Abu Dzar, pernah mengeluarkan pakaian yang bertambal-tambal dan sarung kasar, lalu dia berkata, ”Rasulullah Saw. bertahan dengan dua macam pakaian ini.”

Rasulullah Saw. pernah salat dengan mengenakan pakaian dan tenunan bulu, setelah mengucapkan salam, beliau bersabda, ”Aku disibukkan dengan melihat baju ini, bawalah baju ini ke Abu Jahm (Al-Hadist).”
Tali sandal beliau telah usang, lalu (oleh salah seorang sahabat) diganti dengan tali sandal yang baru. Seusai salat beliau bersabda, “Kembalikanlah tali sandal yang usang, sungguh aku melihat (tali baru) dalam salat.”
Beliau takjub terhadap keindahan sepasang sandalnya itu, spontan beliau sujud, lalu bersabda, “Keindahan sepasang sandal itu membuatku kagum, maka aku tunduk kepada Tuhanku, khawatir Dia membenciku.”
Selanjutnya beliau keluar dengan mengenakan sepasang sandal tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang miskin yang pertama kali beliau lihat (temui).
Baju Umar r.a. diperkirakan memiliki dua belas tambalan, di antara tambalan itu berasal
dari kulit.

Adapun Ali r.a, di masa pemerintahannya membeli pakaian seharga 3 dirham, lalu memotong lengan bajunya itu sampai di pergelangan tangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah, ini termasuk pakaian yang mewah.”
Di antara mereka juga berkata, ”Aku menaksir pakaian dan sandal Sufyan seharga satu dirham dan 2/6 dirham.”
Ali r.a. berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayat kepada para pemimpin agar mereka seperti halnya manusia kelas bawah, agar kaum yang kaya meneladani mereka dan tidak merendahkan kefakiran si orang miskin, karena dia sendiri juga fakir.”

Tempat tinggal (rumah) dalam ukuran paling sederhana adalah, Anda puas dengan salah Satu sudut di dalam masjid, atau sebuah tempat pondokan ahli shuffah. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan, tidak terlalu tinggi dan dia tidak mempermasalahkan akan catnya.

Dalam sebuah atsar disinyalir, bahwa orang yang meninggikan bangunan rumahnya lebih dari enam hasta, dipanggil oleh penyeru, “Hendak ke mana wahai orang yang paling fasik? Sedang Rasulullah saw. meninggal dunia, tidak pernah menata batu-bata dan bambu.”

Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Rasulullah Saw melintasi kami yang sedang mengerjakan atau mendirikan rumah dari bambu, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya persoalannya lebih cepat dari itu. Nabi Nuh as. membuat rumah dan bambu. Maka dinyatakan kepada beliau, Jika kamu mau, kamu dapat membuatnya dari tanah.’ ’Ini sudah cukup untuk orang yang akan mati,’ jawab beliau’.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membangun (rumah) di atas atau lebih dari kebutuhannya, maka akan dibebankan kepadanya pada hari Kiamat.”
Beliau juga bersabda:
“Setiap bangunan (rumah) adalah beban bagi pemiliknya pada hari Kiamat, kecuali yang (sekadar) melindunginya dari panas dan dingin.”

Tentang perkakas dan perabot rumah, ada tingkatan-tingkatan tersendiri. Yang terendah atau paling sederhana adalah seperti keadaan Nabi Isa Ibnu Maryam as, sebab yang beliau miliki hanyalah sisir dan sebuah cangkir. Ketika melihat orang menyisir rambutnya dengan jari-jemari, beliau membuang sisir miliknya; juga saat melihat orang lain minum dengan menggunakan tangannya, maka beliau pun membuang cangkirnya.
Perabot atau perkakas dengan mutu sedang adalah menggunakan jenis perabot kasar, satu buah untuk setiap tujuan, dan berupaya sekuat tenaga untuk menggunakan satu perabot tersebut untuk beberapa tujuan.

Umar r.a. berkata kepada Umair bin Sa’ied, gubernur Hamsh, “Harta-benda apakah yang kamu miliki?” ”Aku memiliki tongkat yang kugunakan untuk bersandar dan membunuh ular ketika aku menjumpainya. Aku juga memiliki kantong kulit, tempat menaruh (menyimpan) makananku; dan aku memiliki mangkuk besar, kugunakan makan, membasuh kepala dan pakaianku. Aku juga punya bejana, di Situ aku menaruh minumanku dan air wudhu’ku. Selain harta-benda itu semua, maka hal tersebut mengikuti saja terhadap apa yang ada padaku,” jawab Umair bin Sa’ied. “Kamu benar,” kata Umar.

Al-Hasan berkata, ‘Aku pernah mendapatkan 70 orang saleh, tidak seorang pun dari mereka yang memiliki pakaian, kecuali hanya satu. Dan tidak seorang pun yang melepaskan satu pakaian untuk diletakkan di tanah.”

Alas tidur Rasulullah Saw. sendiri, bantalnya terbuat dari kulit yang berisikan sabut kasar.
Inilah riwayat dan perjalanan para zahid di dunia. Orang yang mencegah diri dan derajat ini, maka tidak sedikit pun yang menyesal karena hilangnya martabat semacam itu. Dia pasti gigih untuk lebih mendekati mereka, daripada mendekati orang-orang yang berfoya-foya dengan kehidupan duniawi.

Ada beberapa tingkatan hidup zuhud:
Pertama, dia hidup zuhud, sementara nafsunya cenderung pada dunia, namun ia terus berjuang dan memeranginya. Ia adalah orang yang berupaya hidup zuhud (mutazahhid), bukan zahid. Sungguh demikian, awal orang yang zuhud adalah upaya hidup zuhud (mutazahhid).

Kedua, dirinya berpaling dari dunia, sama sekali tidak cenderung kepadanya. Karena dia tahu, bahwa kompromi antara kenikmatan dunia dan akhirat sangatlah mustahil. Maka jiwanya dibiarkan meninggalkan dunia, sebagaimana seseorang yang mengorbankan dirham, guna mendapatkan permata, meskipun dirham itu sangat ia cintai. Inilah hidup zuhud.

Ketiga, jiwanya tidak cenderung dan tidak berpaling dari dunia. Baginya, ada dan tiadanya harta-benda (dunia) adalah sama. Harta bagi dia seperti air, perbendaharaan (khazanah) Allah seperti samudera.

Itulah sebabnya, hatinya tidak pernah bergerak, baik itu karena cinta ataupun berpaling dari harta-benda. Tingkatan ini yang paling sempurna, karena orang yang benci terhadap sesuatu, disibukkan oleh sesuatu itu sendiri, sebagaimana orang yang mencintainya.

Karena itu, Rabi’ah Al-Adawiyah mencela dunia, “Kalau tidak karena berharganya dunia, dalam hati Anda sekalian, tentu kalian tidak akan mencelanya.”
Suatu ketika uang sejumlah seratus dirham dibawa kepada Aisyah ra. Beliau tidak berpaling dan uang tersebut, namun membagi-bagikannya atau memisah-misahkannya untuk dibagi hari itu.

“Jika Anda mau, Anda bisa membeli daging dengan uang dirham itu untuk makan,” kata pembantunya.
Aisyah r.a. menjawab, “Andaikata kamu mengingatkanku, tentu akan kulakukan. Inilah yang disebut kaya itu, dan inilah yang lebih sempurna dari zuhud. Tetapi itu adalah sasaran praduga tipu daya terhadap orang yang pandir. Sebab, setiap orang yang tertipu itu merasakan dalam dirinya, bahwa tidak ada kaitan antara kalbu dan dunia. Tanda-tanda dan hal itu adalah, dia tidak merasakan perbedaan antara pencurian terhadap harta-benda miliknya dan pencurian terhadap harta-benda orang lain. Selama dia masih merasakan perbedaan itu, maka dia disibukkan olehnya.”

Hidup zuhud yang sempurna adalah zuhud dalam zuhud. Yakni, dia tidak menganggap hidup zuhud itu sebagai derajat tertentu. Sebab, orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan mengira bahwa dirinya meninggalkan sesuatu, identik dengan mengagungkan dunia. Karena dunia atau harta-benda bagi mereka yang memiliki mata hati, tiada berarti apa pun. Pemilik harta-benda itu ibarat orang yang dihalang-halangi anjing di depan pintu istana raja maka ia berikan sepotong roti pada anjing tersebut, sehingga si anjing pun sibuk dengan urusan makanan itu, lalu ia pun masuk ke dalam istana raja dan duduk di atas singgasananya. Dan anjing yang ada di depan pintu istana Allah itu adalah setan, seluruh isi dunia nilainya lebih sedikit dari sepotong roti tadi bila dibandingkan dengan kerajaan sang raja. Sebab, sepotong roti itu dinisbatkan kepada sang raja, yang bisa binasa dengan nilai sepadannya. Sedangkan kehidupan akhirat tidaklah fana’, tidak binasa, tidak seperti kehidupan dunia, sebab akhirat itu tanpa batas.

Ditinjau dari motif-motifnya, zuhud itu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, motivasi zuhud itu adalah rasa takut (khauf) terhadap api neraka. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut (al-khaifun).

Kedua, motivasi zuhud yang berupa cinta pada kenikmatan akhirat. Ini lebih tinggi dari yang pertama. Inilah zuhud orang-orang yang berharap (ar-raajun). Ibadat yang berdasarkan rasa harap (ar-raja’) lebih utama dari ibadat yang berdasarkan rasa takut (al-khauf). Karena rasa harap itu mengantarkan pada rasa cinta (mahabbah).

Ketiga, ini lebih tinggi lagi. Motivasi zuhud di sini adalah sikap menjauhkan diri dari perhatian terhadap selain Al-Haq, sebagai upaya menyucikan diri dari selain Al-Haq dan sebagai sikap mengecilkan selain Allah Swt. Ini adalah zuhud orang-orang yang ma’rifatullah (al-‘arifuun). Inilah zuhud yang hakiki. Sedangkan dua bentuk zuhud sebelumnya adalah sekadar muamalat, sebab bisa saja si zahid dalam dua tingkatan di atas lepas dan sesuatu harapan masa kini (dunia) untuk diganti dengan masa depan (akhirat) yang pahalanya berlipat ganda.

Zuhud ditinjau dari kandungan isinya terbagi dalam tiga tingkatan pula. Sedangkan zuhud yang sempurna adalah hidup zuhud meninggalkan selain Allah Swt. di dunia dan akhirat. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah hidup zahud meninggalkan dunia, tanpa akhirat. Berarti ia meninggalkan segala bentuk kesenangan di dunia termasuk di dalamnya, baik itu berupa harta-benda, kehormatan, jabatan dan kenikmatan duniawi.

Tingkatan di bawahnya lagi adalah hidup zuhud dan harta-benda, namun tanpa meninggalkan kedudukan atau kehormatan. Atau, hidup zuhud dalam beberapa hal, tanpa meninggalkan lainnya. Dan zuhud itu tergolong lemah, karena kedudukan itu lebih menggiurkan daripada harta-benda; maka zuhud dengan meninggalkan kedudukan itu lebih utama.

Hidup zuhud sendiri adalah, Anda menjauhkan diri dari dunia sepenuhnya menurut kemampuan. Kemudian bila dunia itu menjauhi Anda, sedangkan Anda masih mencintainya, maka itu adalah kefakiran, bukannya zuhud. Walaupun demikian, kefakiran itu memiliki keistimewaan dibanding kaya, karena fakir atau miskin itu mencegah diri dari bersenang-senang dengan kelezatan duniawi. Ini lebih utama daripada orang yang diberi kemampuan untuk menguasai harta-benda dan bersenang-senang dengannya hingga ia terbiasa merasa tenang dengan gelimang harta-benda tersebut. Kalbunya pun tidak bisa jauh dari kenikmatan. Akhirnya, semakin besar dan keras penyakit serta kerugiannya menjelang mati. Lalu dunia itu seakan-akan surga, dan bagi si miskin seakan-akan penjara. Karena si kaya merasa bersih dari bencana dunia. Padahal kemiskinan atau kefakiran adalah faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. melindungi hamba-Nya dari harta-benda, sedangkan ia mencintainya, seperti salah seorang di antara kalian melindungi (keluarganya) yang sakit, dari makanan dan minuman.”

Sabda beliau pula:
“Orang-orang miskin dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan tenggang waktu lima ratus tahun.”

Sabdanya, “Sebaik-baik umat ini adalah orang-orang miskinnya.”
Sabdanya, “Jika kamu melihat orang miskin datang, maka katakanlah, ‘Selamat datang dengan syiar orang-orang saleh. ‘Jika kamu melihat orang kaya datang, maka katakanlah, ‘Dosa yang disegerakan balasannya’.”

Nabi Musa as. pernah bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah kekasih-kekasih-Mu di antara makhluk-Mu hingga aku dapat mencintai mereka demi Engkau?” “Setiap orang fakir,“ jawab-Nya.
Perlu diingat, bahwa walaupun orang miskin itu puas dengan apa yang dianugerahkan kepadanya, juga tidak terlalu berambisi untuk meminta dan berusaha. Derajat dan tingkatannya mendekati derajat dari tingkatan orang zuhud.

Rasulullah Saw. bersabda, “Berbahagialah siapa yang diberi petunjuk Islam, sedangkan kehidupannya cukup dan ia merasa puas dengan kehidupan yang demikian itu.”
Beliau juga bersabda, “Orang-orang fakir yang sabar adalah sahabat-sahabat Allah Swt.”

Sabdanya, “Hamba-hamba yang paling disenangi oleh Allah adalah orang fakir yang rela (puas).”
Allah Swt. pernah menurunkan wahyu kepada Nabi Ismail as, “Memohonlah kepada-Ku di sisi orang-orang yang remuk hatinya!”
“Siapakah mereka?” tanya Nabi Ismail.
“Orang-orang fakir yang jujur,“ jawab-Nya.

Jadi, pahala orang fakir itu menjadi besar ketika dia puas, rela dan sabar. Rela, puas dan sabar bagi orang miskin merupakan awal ke-zuhud-an. Tingkatan ini hanya bisa sempurna dengan sabar.

Sumber : Sufinews.com

ZUHUD (Menurut Syekh Ibnu Qoyyim Al-Jauzi dalam Madarijus Salikin )

02 Oktober 2010

Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan
hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya. Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."

Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara'. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."

Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia." Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia
dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."

Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara:
1. Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang Awam.
2. Meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus.
3. Meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki ma'rifat.

Yang pasti, para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat. Atas dasar pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud, seperti Ibnul-Mubarak, Al-Imam Ahmad, Waki', Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.

Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak menda-pat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka.

Sudah barang tentu Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling zuhud, tapi beliau mempunyai sembilan istri. Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud, tapi mereka mempunyai harta yang melimpah. Begi-tu pula Al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Al-Mubarak, Al-Laits bin Sa'd, yang semuanya merupakan imam orang-orang zuhud, namun mereka juga kaya raya.

Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, "Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditimpa musibah sama sekali."

Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak? Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.

Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Taruklah bahwa di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpaksa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:

1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu'man bin Basyir Radhiyallahu Anhutna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara ke-duanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad.
Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati."

Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti Al-A'raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah.

Tidak menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang ter-cela. Yang tercela dalam hal ini ialah jika sikapnya itu semata di mata manusia dan tidak merasa malu di mata Allah.

2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh para nabi dan shiddiqin.

Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan. Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu.

Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotong-nya, maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenik-matan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang ber-manfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkan-nya. Zuhud adalah zuhud hati.

3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan balasan.

Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma'rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini.

Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekedar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya terlalu remeh di matanya.

Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.

NILAI DUNIA HANYA SETES AIR KENCING

28 September 2010

Berangkat pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid yang sedang dalam perjalanan umroh bertemu dengan sahabatnya yang bernama Bahlul. setelah berangkulan tanda bahwa keduanya saling merindukan, sang Khalifahpun mengundang Bahlul untuk santap malam di tempatnya.

Melihat betapa penyambutan yang dilakukan oleh Harun Ar Rasyid cukup mewah, maka Bahlulpun mengajukan pertanyaan.

” Wahai Amiral Mukminin, seandaianya anda tertimpa penyakit aneh yang menyebabkan engkau tidak bisa buang air besar dan seluruh tabib istana tidak mampu menyembuhkannya, namun ada seseorang yang diizinkan Alloh dapat menyembuhkan penyakit anda, maka apa yang akan anda lakukan ?”

Khalifahpun menjawab,” Aku akan memberikan separoh dari kerajaanku sebagai tanda terima kasihku kepadanya.”

” Dan seandainya engkau tertimpa penyakit tidak dapat kencing sama sekali, lalu tiba-tiba ada seseorang yang diizinkan Oleh Alloh dapat menyembuhkan anda, apa yang akan anda lakukan ?”

Dengan penuh semangat sang khalifahpun menjawab,” Aku akan memberikan seluruh kerajaanku kepadanya sebagai hadiah atasnya.”

Mendengar jawaban itu, bahlulpun tersenyum dan berkata,” Wahai Amiral Mukminiin, ternyata nilai kerajaan anda yang begitu megah dan mewah itu tak lebih dari sepotong kotoran dan setetes kencing semata, lalu apa yang hendak anda banggakan di hadapan Alloh yang Maha Kaya ?”. Dengan menangis Harunpun menangis dan memeluk sahabatnya yang telah memberikan nashat berharga itu.

sepenggal kisah di atas penulis dapatkan dari sebuah buku yang penulis lupa judulnya, akan tetapi bagi penulis kisah di atas memiliki nilai pelajaran yang sangat tinggi, yaitu agar manusia tidak terlalu tamak terhadap dunia, menganggap dunia adalah segalanya dan menjadikan dunia adalah tujuan hidupnya semata sampai ia lalai akan kewajibannya sebagai manusia yaitu mengabdi kepada Rabbnya. Cara apapun akan dilakukan asalkan ia dapat mendapatkan kemewahan dan kemegahan duniawi, tidak peduli apakah cara tersebut halal atau haram, dholim atau bukan yang penting syahwat dan kerakusannya dapat tersalurkan.

Padahal dunia ini dimata Alloh tidak ada nilainya sama sekali, dalam hadits Riwayat Imam Turmuzi dan beliau nyatakan hasan shahih nabi bersabda:

"Lau annad dunya ‘indallohi matsalu janaahi ba’udhotin ma saqol kaafiru walau surbata maain.”

Seandainya dunia disisi Alloh senilai sayap nyamuk saja, maka orang kafir tidak akan pernah diberikannya walaupun seteguk air.

Dan kenyataannya banyak orang kafir hidup mewah dengan harta yang melimpah, maka jelaslah bahwa dunia itu tidak ada nilainya sedikitpun dihadapan Alloh.

Sadar akan hal itu mestinya kita menjadikan dunia hanyalah sebagai sarana untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh, berusaha mencarinya dengan cara yang halal dan menjauhi segala macam dunia yang haram, tidak tamak dan rakus. Manusia boleh mencari dunia dan bahkan menjadi wajib apabila bisa menjadi sarana untuk dapat tegaknya agama Alloh, namun hendaknya dalam mencarinya tersebut tetap berada pada rel syariah yang telah digariskan oleh Alloh melalui Nabi kita Muhammad Saw.

Zuhud ???? Mobilnya Kan Banyak !

Pagi itu Kyai Makmun seperti biasanya memberikan kuliah pagi kepada santri-santrinya, pagi ini sampailah pada bab pembahasan tentang zuhud

” Begitulah anak-anakku, zuhud adalah berpalingnya hati dari semua yang bersifat duniawiyah, baik itu halal apalagi yang syubhat dan haram ”

semua santrinya mendengarkan penjelasan kyai makmun dengan seksama, tiba-tiba dari tengah-tengah kerumunan santri ada satu santri yang meminta waktu untuk bertanya

” sebelumnya saya minta maaf, kalau saya lihat, pak kyai sendiri kenapa hidupnya penuh dengan dunia?” begitu pertanyaan muridnya

seperti diketahui, kyai makmun ini tergolong kyai yang kaya raya, rumahnya megah, pesantrennya kokoh dan banyak, kendaraannya mengkilap tidak hanya satu, hal demikian kontra dengan penjelasan yang pagi ini disampaikannya. lalu apa jawaban kyai makmun? dengan senyumannya yang khas beliau menjawab

” anakku pertanyaanmu sungguh cemerlang, tapi pertanyaanmu itu akan saya jawab insya Alloh dalam pengajian besok sore ”

pengajian pun ditutup dengan do’a penutup majlis, pagi harinya selepas pengajian, kyai makmun memanggil santri yang kemarin bertanya, ” gus pagi ini kamu ikut saya”. ternyata santri ini diajak menemani kyai untuk sekedar jalan-jalan dengan mobil mewahnya, karuan saja santri ini senang bukan kepalang, bukan saja karena diajak kyainya, tapi dia akan merasakan empuknya naik mobil bagus.

” Oh…ya gus… ada satu syarat yang harus kamu penuhi jika ingin tetap ikut mobil saya sampai kembali pulang, kamu pegang gelas yang penuh air ini, jangan sampai tumpah, kalau sampai tumpah, maka disitulah akhir dari perjalananmu, kamu akan saya turunkan” kyai makmun menerangkan kepada santrinya

singkat cerita, perjalanan dengan mobil mewah itu pun dimulai, mula-mula perjalanan diawali dengan pergi ke pusat kota dengan aneka macam keramaiannya, kemudia dilanjutkan kepegunungan yang indah, perjalanan pun akhirnya selesai, mobil pun meluncur perlahan kembali ke pesantren,

waktu berjalan dengan cepat, pengajian sore pun akhirnya tiba, dalam tengah-tengah penjelasan tentang zuhud ini kyai makmun bertanya dengan santrinya yang kemarin bertanya dan tadi pagi juga diajaknya jalan-jalan.

” gus bagaimana perjalanannya tadi pagi, enak kan? pemandangannya juga bagus-bagus kan? kyai makmun bertanya dengan iringan senyum

” enak bagaimana pak kyai? lha wong aku disuruh menjaga gelas yang berisi air agar jangan sampai tumpah, bagaimana bisa menikmati perjalanan dan pemandangan, yang ada malah rasa was-was serta kwatir, karena kalau sampai tumpah, saya sewaktu-waktu bisa diturunkan dari mobil” begitu jawaban santrinya

” hmmmm….. alhamdulillah, kamu sudah menemukan jawaban dari pertanyaanmu kemarin, dunia yang sebanyak ini tidak pernah bisa saya nikmati, karena setiap saat saya harus menjaga, agar dunia ini tidak membuat saya lalai dan berpaling dari Alloh serta kwatir dan takut kalau-kalau dunia ini akan menjadi fitnah buat diriku, lalu bagaimana aku bisa menikmatinya?

KONSEP ZUHUD

Zuhud secara bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu: Bersedia untuk melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan duniawi, dan hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT. Sebagaimana yang di ungkapkan ulama:

مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ زَاهِدٍ

“Ma Qalla amalun baraza Min qalbin Zaahidin”

(tidak ada amalan kecil yang lebih mulya dari dalam hati seorang yang menjauhi dunia, melainkan berbuat zuhud).

Zuhud dalam aplikasi kehidupannya, mampu melahirkan satu maqam dan cara hidup yang oleh para ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai setelah maqam taubah.

Itu karena, seseorang yang benar-benar zuhud sudah meninggalkan symbol-symbol duniawi setelah benar-benar dia melakukan taubah al-nasuuha, dengan satu pandangan bahwa hidup di dunia tak lebih daripada sebatas permainan dan canda gurau. Seperti dalam al-quran disebutkan:

إِعْلَمُوْا أَنَّمَا الْحَيوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ……

[I'lamu annamalhayah al-Dunya La'ibun Wa Lahwun: Al-Haddid:20].


Konsep ini sejajar dengan:


اَلدُّنْياَ مَزْرَعَةُ اْلاَخِرَةِ
“al-dunya mazra’atun al-aakhirah”:

Dunia sebagai ladang(bekal) di akhirat kelak, difahami bahwa tidak ada keindahan dan ketenangan hakiki melainkan merasa indah dan tenang dengan kenikmatan hidup dalam keadaan iman dan Islam dengan zuhud sebagai pegangan. Orang-orang ini, niscaya dalam hidupnya akan semakin dekat dengan khalik sang pencipta, sebagaimana hadist rasul SAW:

مَنِ ازْ دَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًا لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ اِلاَّ بُعْدًا
“Manizdaada ‘ilman, walam yazdad zuhdan, Lam Yazdad Min Allah illaa Bu’dan”

(Barangsiapa yang di anugerahi ilmu oleh Allah, akan tetapi tidak semakin bertambah ke-zuhud-annya, maka sejatinya orang yang seperti ini bukan bertambah melainkan semakin jauh dari jalan tuhan-Nya).

Seseorang yang secara lahir sukses dalam mempertahankan gelar akademiknya, cemerlang dalam setiap usahanya, dan bertambah keilmuan apabila melihat jam tayangnya(baca: sebagai penceramah;da’i), akan tetapi selalu melakukan perbuatan yang melanggar syari’at, tidak ada keinginan untuk mengurangi perbuatan buruk dan segera memohon taubat kepada-Nya, maka yang demikian ini bukan dekat dengan Tuhannya melainkan semakin jauh dari jalan hidayah Allah SWT.

Orang-orang zuhud selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan dan majlis-majlis yang penuh dengan kemungkaran, dan selalu berusaha melakukan amaliyah yang hanya diredhoi Allah SWT, seperti yang dijelaskan oleh ulama:


مَنْ عَمِلَ اْلاَخِرَةَ كَفَاهُ اللهُ أَمْرَ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ
“Man ‘Amila al-Aakhirat Kafahu Allah amra Diinihi Wa Dunyahu”.

Artinya: “Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan soleh(bermanfaat untuk akhirat), Maka akan Allah cukupkan segala urusan agama dan dunia-nya”.

Golongan ini, selalu berusaha dalam melaksanakan segala kewajibannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, karena segala kenikmatan yang ada di dunia ini, besok akan di mintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat,

Sebagaimana dalam surah At-takasur ayat 8 dinyatakan:


ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Dalam surah lain,an-Naziat ayat 37-39 di jelaskan:

فَأَمَّا مَنْ طَغىَ , وَءَاثَرَ الحْيَوَةَ الدُّنْيَا , فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى
Adapun orang yang melampaui batas,Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).

Dalam redaksi yang berbeda juga disebutkan:


مَنْ أَرَادَ اَنْ يَشْرِفَ فِى الدُّنْياَ وَاْلاَخِرَةِ فَلْيَخْتَرِ اْلاَخِرَةَ عَلىَ الدُّنْيَا اَلْفِتْنَةَ

“Man arada an yasyrifa fi al-dunya wa al-akhirah falyakhtar al-akhirah ‘ala al-dunya[al-fitnah]“.

Artinya:

“Barangsiapa yang menghendaki kemulyaan di dunia serta kebahagiaan di akhirat, maka mereka akan memilih kemulyaan akhirat dan menjauhi dari kenikmatan sesaat di dunia dengan segala bentuk kemaksiatan, kejahatan dan fitnah yang merajalela”.

Hal ini, seandainya mereka diberi kebahagiaan sebagai orang-orang diberi kelebihan rezeki waktu di dunia, maka dengan segera akan menginfaqkan, bersedekah dengan tujuan untuk menggapai ketaatan kepada-Nya, untuk menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan bujukan iblis dan bala tentaranya, secara rinci dijelaskan oleh ulama:


إِنَّ الزُّهْدَ لَيْسَ عِبَارَةُ عَنْ أَخْلاَءِ الْيَدِ عَنِ الْمَالِ بَلْ هُوَ أَخْلاَءُ الْقَلْبِ عَنِ التَّعَلُّقِ بِهِ

“Inna az-zuhda laisa ibaaratun ‘an akhlai al-yadi ‘an al-maal, bal huwa akhlaul qalbi ‘an ta’alluqi bihi”,

Artinya:

Yang di namakan zuhud itu bukan ibarat orang yang menyembunyikan tangannya dari harta benda(uang, jabatan,wanita), akan tetapi zuhud yaitu menyembunyikan dari perkara yang dapat mengakibatkan kemadharatan atas segala tipu daya dunia yang fana, orang zuhud dalam hatinya terbebas dari sesuatu yang bersifat unsur duniawi, hatinya selalu condong kepada dzat Allah, melaksanakan ketaatan dan dunia hanya dijadikan sebagai perantara untuk menggapai ridho-Nya.

Dalam surah Taha ayat 131 dijelaskan:


وَلاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلىَ مَامَتَّعْنَابِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّأَبْقَى

131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.

Pengertian zuhud secara lebih luas, sebenarnya bukan meninggalkan kehidupan dunia secara keseluruhan, melainkan tetap mencari penghidupan duniawi, akan tetapi hanya sebatas untuk memenuhi keperluan hidup ala kadarnya, mereka bekerja dengan niat untuk menafkahi keluarga, yang merupakan kewajiban seorang suami atas anak dan istrinya, dan itu semua hanya untuk mencari ridlo-Nya, agar kelak besok lepas dari pertanggung jawaban di akhirat. Hal ini dijelaskan dalam surah al-Qashash ayat 77:

وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتَكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِى اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Selain itu juga dijelaskan dalam hadits:


إِعْمَلْ لِدُنْياَكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِأَخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
“I’mal lidunyaaka kaannaka ta’isyu Abadan, Wa’mal liaakhiratika kaannka tamutu ghadan”.

Artinya:

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk persediaan akhiratmu, seakan-akan engkau mati besok”.

Dalam tasawuf, seorang hamba yang lagi menjalankn perintah harus selalu merasa bahwa dirinya sedang benar-benar berdiskusi kepada Allah, kalau tidak boleh menghadirkan hati maka seyogyanya dalam hatinya sadar bahwa segala apapun aktivitasnya sedang dalam pantauan yang MahaKuasa, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan Sayyidina Umar, beliau mendengar rasulullah SAW bersabda:


أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“An ta’budallah kaannaka tarahu, waillam takun tarahu fainnahu yaraka”

Artinya:

“Ketika menyembah kepada-Nya seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu untuk yang demikian(melihat-Nya), maka sesungguhnya Dia(Allah)selalu melihatmu”.

Hadist ini bukan saja berlaku di saat kita melakukan ibadah(shalat)saja, akan tetapi dalam semua aktifitas kita di luar shalat pun, seseorang yang zuhud merasa dirinya selalu dalam pengawasan Allah SWT.

Dengan demikian ilmu tasawuf sebagai satu wasilah(jembatan penghubung) yang mampu memberikan effect positif kepada pengamalnya berdasarkan haluan yang telah digariskan dalam syariah Islam, seperti ungkapan Imam Asy-Sya’rani bahwa tasawuf merupakan ilmu yang dapat muncul dari hati yang bersih, dan tiada tergores sedikitpun di dalamnya. Satu hal yang paling penting dalam mempelajari ilmu ini, seperti yang telah di uraikan oleh Imam Malik, bahwa seseorang yang belajar ilmu fiqih(syariat) tanpa mempelajari tasawuf (hakikat), maka ia fasiq. Demikian juga sebaliknya seseorang yang ber-tasawuf(hakikat),tanpa mendalami ilmu fiqih (syariat), maka ia kafir zindiq, artinya kita harus amalkan kedua-duanya antara syariat dan hakikat.

Akhiran, mari kita sama-sama menghayati makna zuhud yang kemudian semoga dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Amin.

TIPS KANG ANWAR

Loading...
Sponsored By :Kang Anwar.

LANGGANAN

Posting Terbaru

GRATIS UPDATE BERITA, silahkan Berlangganan !

Kang Anwar Selalu update setiap waktu Untuk berlangganan via email, kirimkan email anda di sini

Email Anda:

Powered by Feed My Inbox

KAJIAN KANG ANWAR

 

© Copyright Media Kang Anwar 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.