PUASA DI BULAN SYAWAL
24 September 2009
Bulan Ramadhan telah usai, maka berbondong-bondong pula kaum muslimin (sebagian besar dari mereka) mengerjakan amalan sunnah yang mengiringi setelahnya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Ada yang mengerjakannya langsung setelah Hari Raya ‘Idul Fitri (terlepas dia telah sempurna menunaikan puasa Ramadhan ataupun tidak), ada yang puasa selang-seling, ada yang “bayar hutang” dulu dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya tata cara pelaksanaan puasa syawal ini?
Semoga artikel ini bermanfaat untuk pembaca semua !
PUASA 6 HARI DI BULAN SYAWAL
Pendapat yang menyatakan bid’ah atau haditsnya lemah, merupakan pendapat yang bathil.1 Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad menyatakan istihbab (disukai / disunnahkan) pelaksanaannya.2
Adapun Imam Malik, beliau menilainya makruh. Agar orang tidak memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan. Namun alasan ini sangat lemah, bertentangan dengan sunnah shahihah.
Alasan yang diketengahkan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada pengkajian dan penelitian dalil, yang akan menyimpulkan pendapat tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan yang menjadi penyebab sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti) dalam madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha’.
Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr berkata,
Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Malik. Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat dengannya.
Beliau mengatakan dalam Iqna’, disunnahkan berpuasa enam hari di bulan syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal. Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hamba-Nya.
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda,
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fithri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh.3
CARA PELAKSANAANNYA
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah (15/391) menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun.4
Beliau (Syaikh Abdul Aziz bin Baz) juga berpendapat, seluruh bulan Syawal merupakan waktu untuk puasa enam hari.
Terdapat riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun.5
Hari pelaksanaannya tidak tertentu, asalkan dalam bulan Syawal. Seorang mu’min boleh memilih kapan saja mau melakukannya, baik di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, boleh melakukannya secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel, alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu lebih afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan.6 Para ulama’ menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari ‘Idhul Fithri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah berpuasa pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.
Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al-Hamd menjelaskan,
Dalam hadits ini,7 tidak ada nash (dalil) yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan atau terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya ‘Idhul Fithri.
Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari raya ‘Idhul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda).8
Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan kita kepada Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Bagaimana Jika Masih Menanggung Puasa Ramadhan?
Para ulama’ berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh mendahulukan puasa sunnah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan9.
Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan itu. Mereka mengqiyaskannya (menganalogikannya) dengan shalat tathawwu’ (sunnah) sebelum pelaksanaan shalat fardhu.
Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, diharamkannya mengerjakan puasa sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib.
Syaikh Bin Baz menetapkan, berdasarkan aturan syari’at (masyru’) mendahulukan puasa qadha’ Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya. Hal ini merujuk kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa satu tahun.
Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa hukumnya wajib, sedangkan puasa enam hari hukumnya sunat. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu.10 Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawal. Beliau tetap berpendapat, menurut aturan syari’at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu. Sebab, dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan puasa enam hari (Syawal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan dari perkara sunnah.11
Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar argumentasi yang digunakan yaitu kandungan hadits Tsauban di atas yang bersifat mutlak.12
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
1Majmu’ Fatawa, Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz, 15/389. …2Taudhihul Ahkam, 3/533. …3Hadits shahih, riwayat Ahmad (5/280), An-Nasaa-i (2860), dan Ibnu Majah (1715). Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134. …4HR. Muslim dalam Ash-Shiyam, bab Istihbabish-Shaumi Sittati Ayyam min Syawwal, 1164. …5Ibid. …6Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah 15/390. …7yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawal. …8Fiqhul Islam, 3/232. ...9maksudnya, mengganti puasa Ramadhan yang tidak ia kerjakan di dalam bulan Ramadhan. -red. vbaitullah. …10Ibid. …11Ibid. …12Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134.
Label:
BULAN MULIA,
BULAN SYAWAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar