Banyak cara untuk menyatakan cinta kepada Rasulullah saw. Apapun caranya selama tidak menyeleweng dari tuntunan syariah yang diajarkanya kepada para sahabatnya haruslah dihargai. Karena menghormati orang yang mencintai Rasulullah saw sama artinya dengan mencintainya. Begitu pula sebaliknya. Barang siapa yang tidak suka kepada orang yang memuji Rasulullah saw berarti ia pun tidak cinta kepada Rasulullah saw na’udzubillah (mengenai hukum membaca Albarzanji dan perayaan maulid telah diterangkan dalam rubrik ini) Rasa cinta yang telah mengkristal dalam kalbu itu selanjutnya berubah dalam berbagai bentuknya dalam dunia nyata. Diantaranya adalah berbagai sastra puja-puji kepada Rasulullah saw dalam berbagai macam sya’ir yang indah.Sebagai rasa cinta kami kepada Rasulullah saw rubrik ubudiyah selama bulan maulid ini insyaallah akan memaparkan berbagai macam karya sastra para pecinta Rasulullah saw yang berisikan puja dan puji kepada Rsulullah saw yang telah akrab dengan kehidupan muslim Nusantara seperti kitab Al-barzanji, Al-diba’i, Maulid Syaraful Anam dan lain sebagainya.
Al-Barzanji sebenarnya bukanlah nama kitab atau buku, tetapi nama penulisnya yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Seorang sufi dan mufti di kalangan syafi’iyyah asal Madinah yang lahir pada tahun 1690 M dan meninggal pada 1763 M. Sebutan Albarzanji sebagai nama marga bagi penulisnya, jauh lebih terkenal dibandingkan dengan nama kitab itu sendiri yaitu ‘Iqdul Jawahir. Bahkan di wilayah Nusantara ini, jika sengaja disebutkan nama kitab Iqdul Jawahir banyak orang yang tidak faham, jauh lebih mafhum jika disebutkan Al-barzanji.
Kata ‘Iqdul Jawahir secara leterlek berarti untaian permata. Sesuai dengan namanya, kitab ini merepresentasikan Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah. Rasulullah saw bagi dunia seperti untaian mutiara keindahannya menyilaukan dunia. Oleh karena itu, penulisan kisahnyapun dengan kata-kata yang indah pula agar sesuai dengan kisahnya. Sosok yang indah, akhlaq yang indah harus ditulis dengan sastra yang indah. Inilah makna untaian mutiara Iqdul Jawahir.
Dalam konteks sejarah kelahiran Iqdul Jawahir atau Al-Barzanji, perang salib yang melibatkan Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang memerintah dinasti Bani Ayyub dengan tentara Salib (Inggris, Prancis dan Jerman) Pada tahun 1099 M menjadi latar yang sangat mengharukan. Di tengah himpitan semangat kemenangan tentara Salib yang sedang merayakan Natal serta keberhasilan menguasai Masjidil Aqsha, Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi mencoba memompa semangat kaum Muslimin dengan menggelar perayaan kelahiran Rasulullah saw secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengimbangi perayaan Natal mereka.
Ide yang disuarakan oleh Sultan Shalahuddin ini sebenarnya berasal dari iparnya yaitu Mudzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Khalifah An-Nashir yang memegang pemerintahan di Baghdad amat menyambut baik ide serta seruan ini. Maka pada bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, ketika musim haji tiba, Sultan Salahuddin sebagai penguasa resmi Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) menghimbau kepada seluruh jamaah haji, agar sekembalinya dari ibadah haji segera mentradisikan perayaan maulid Nabi di daerah masing-masing. Oleh karena itu mulai tahun 580 H / 1184 M tiap tanggal 12 Rabiul Awal harus dirayakan peringatan Maulid Nabi saw dengan berbagai kegiatan yang dapat membangkitkan semangat umat Islam.
Ternyata peringatan Maulid Nabi saw yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut kembali oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa akhirnya kembali menjadi masjid setelah sempat dijadikan gereja oleh pasukan salip.
Sultan Salahuddin sendiri memperingati peringatan Maulid Nabi saw yang pertama kali ini dengan menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat hidup Rasulullah saw. Sayembara ini diikuti oleh Seluruh ulama dan sastrawan pada zamannya. Dan akhirnya sebagai pemenang adalah Syaikh As-Sayid Ja`far Al-Barzanji dengan karyanya yang berjudul ‘Iqdul Jawahir.
‘Iqdul Jawahir merupakan biografi Nabi Muhammad saw yang ditulis menurut gaya puitika Arab. Karya ini terbagi dua: Natsar (prosa) dan Nadzom (puisi). Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang di dalamnya juga memuat 355 syair. Seluruhnya menuturkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa tatkala dilantik menjadi Nabi. Sementara, bagian Nadzom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair.
Sebagaimana karakter syair Arab, ‘Iqdul Jawahir banyak menggunakan berbagai kata yang diambil dari fenomena alam jagad raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Kata-kata itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Keunggulan ‘Iqdul Jawahir sebagai karya sastra terbukti dengan mendunianya karya ini di pelosok penujur negeri Muslim. Bahkan ketinggian bahasanya memerlukan syarah yang banyak ditulis oleh para ulama diantaranya adalah Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir. Juga Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M. dan Juga Ulama Nusantara sendiri yaitu Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid Al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’ kitab inilah yang sering dibaca diberbagai pesantren di Jawa secara kilatan (tiga atau dua kali pertemuan) dalam rangka memperingati hari maulid. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami satu-satunya anak Sayyid Ja’far Al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian mertuanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Dengan demikian Al-Barzanji atau ‘Iqdul Jawahir adalah karya sastra berasaskan rasa cinta kepada paduka Nabi yang Mulia, yang entah mengapa karya ini berhasil menyemangati para tentara muslim dalam perang Salip dan berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha. Untaian kata Indah yang dipadukan dengan tulusnya niat dengan penuh hormat dan harap mampu menarik berkah dari Rasulullah manusia yang Mulia. Demikian pula dengan pembacaan al-Barzanji di Nusantara, semua dilakukan dengan penuh pengharapan menanti syafaat di yaumil qiyamat .
Di kalangan pesantren tradisi membaca Al-barzanji ini disebut dengan berzanjenan. Bagi kaum Nahdliyyin Al-Barzanji menjadi salah satu cara bertawassul kepada Rasulullah saw. Dengan menuturkan kisah kehidupan Rasulullah saw dan bershalawat atasnya, orang mengharap adanya kebaikan dalam kehidupan.
Di pesantren tradisi membaca Al-Barzanji merupakan sebuah kegiatan yang dilaksanakan setiap malam jum’at atau malam selasa. Membaca dengan beramai-ramai, dengan suara lantang dengan kraeasi nada yang bermacam melahirkan semangat tinggi. Bagi kehidupan santri yang setiap harinya bergumul dengan kitab kuning, mengaji dan maknani, membaca berzanji adalah sebuah hiburan tersendiri, disamping juga tabarrukan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah saw. Tradisi ini tidak hanya ada dalam dunia pesantren saja, tetapi juga masyarakat awam. Untuk momen-momen tertentu mereka bersama-sama membaca Al-barzanji dengan niat tabarrukan kepada Rasulullah saw. Misalnya ketika hari ketujuh kelahiran seorang bayi, atau ketika menjelang pesta pernikahan, bisa juga ketika menghuni rumah baru dan lain sebagainya. Seringkali berzanjenan diiringi dengan rebana atau terbang yang menggema. Pembaca dan juga sahibul hajat sama seperti Sultan Salahuddin yang berharap kebaikan dari pembacaan al-Barzanji. Jika tentara salip saja bisa ditaklukkan apalagi hanya sekedar kejahatan dan keburukan.
Lantas siapakah sebenarya Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji itu? Ia dilahirkan pada Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 (Desember 1714 M) di Madinah Al-Munawwaroh serta wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H (6 Februari 1764 M) di Kota Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’. Secara Nasab beliau bersandar langsung hingga Rasulullah saw. lengkapnya Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad bin Sayid Rasul bin Abdul Sayid bin Abdul Rasul bin Qalandar bin Abdul Sayid bin Isa bin Husain bin Bayazid bin Abdul Karim bin Isa bin Ali bin Yusuf bin Mansur bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Ismail bin Al-Imam Musa Al-Kadzim bin Al-Imam Ja’far As-Sodiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir in Al-Imam ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Sayidah Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw.
Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu, diantaranya ialah ilmu Sharaf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, Al-‘Arudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijalul Ahadits, dan Mustholahul Ahadits. Selain itu, Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji, juga adalah seorang khatib serta pengajar di Masjid Nabawi. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, namun masyhur pula dengan karamah serta kemakbulan doanya. Penduduk Madinah acap kali meminta pada beliau berdo’a untuk turunnya hujan pada musim-musim kemarau. Hingga terucap sebuah syair yang artinya:
Dahulu al-Faruq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far beristisqa` memohon itu datang
Maka yang demikian wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini adalah wasilah kami dengan Imam bermata hati terang
Dengan demikian, sastra yang lahir dari seorang alim (dhahir dan bathin) yang luar biasa , guna menghormati orang yang paling mulia, pastilah memiliki nilai yang istimewa.
By.: Kang Anawr
Sumber : nu org
0 komentar:
Posting Komentar